BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai negara
maritim, Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam perikanan, baik perikanan
air tawar, air payau, maupun air laut. Menurut Saparinto dalam Eko Susanto (2010:1), potensi akuakultur air payau, yakni
dengan sistem tambak diperkirakan mencapai 931.000 ha dan hampir telah
dimanfaatkan potensinya hingga 100% dan sebagian besar digunakan untuk
memelihara ikan Bandeng (Chanos chanos
Forsk) dan udang (Pennaeus sp.).
Jumlah produksi
perikanan tangkap dari penangkapan ikan dilaut dan di perairan umum pada tahun
2006 masing-masing sekitar 4.468.010 ton dan 301.150 ton. Produksi perikanan budidaya pada tahun 2006 mencapai 2.625.800 ton yang didominasi
oleh udang 327.260 ton, Rumput laut 1.079.850 ton, ikan mas 285.250 ton, Bandeng
269.530 ton, Nila 227.000 ton, Lele 94.160 ton, Gurame 35.570 ton, dan Kerapu 8.430
ton (Ditjen Perikanan Budidaya,2007 dalam
Hari Eko Irianto dan Indoroyono Soesilo). Data tersebut menunjukkan bahwa
produksi ikan Bandeng menduduki urutan ke-4 setelah Rumput laut, Udang, dan Ikan
mas.
1
|
Ikan Bandeng merupakan
suatu komoditas perikanan yang memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga
banyak digemari masyarakat. Selain itu, harganya juga terjangkau oleh segala
lapisan masyarakat. Ikan bandeng
digolongkan sebagai ikan berprotein tinggi dan berkadar lemak
rendah.
Media
pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang terdiri dari campuran
zat-zat makanan (nutrisi) yang diperlukan mikroorganisme untuk pertumbuhannya.
Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi media berupa molekul-molekul kecil yang
dirakit untuk menyusun komponen sel.
Salah satu media
pertumbuhan yang sering dipakai adalah medium NA yang memiliki komposisi antara
lain ekstrak daging sapi, pepton, agar dan air. Ekstrak daging yang digunakan
pada pembuatan medium ini biasanya adalah
dari daging sapi yang harganya cenderung cukup mahal dibandingkan dengan
daging ikan yang merupakan salah satu komoditi yang melimpah di Indonesia
khususnya di Sulawesi Tenggara.
Daging ikan Bandeng
memiliki kandungan protein yang tinggi serta kandungan-kandungan lain seperti
kalori, lemak, mineral, kalsium, fosfat, besi dan vitamin yang merupakan
sumber-sumber nutrisi bagi pertumbuhan bakteri. Dengan demikian ikan bandeng
berpotensi sebagai pengganti daging sapi untuk substrat media tumbuh mikroba.
Berdasarkan uraian
tersebut maka peneliti ingin mengkaji lebih lanjut tentang pemanfaatan daging
ikan Bandeng (Chanos chanos) pada
pembuatan medium NA.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah daging ikan
Bandeng (Chanos
chanos) dapat digunakan pada pembuatan medium NA?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Penelitian
ini bertujuan untuk memanfaatkan
daging ikan Bandeng (Chanos chanos) sebagai substrat alternatif dari daging sapi pada pembuatan medium NA
2.
Untuk
membandingkan jumlah koloni yang tumbuh pada dua medium (yang menggunakan
ekstrak daging sapi dan ekstrak daging ikan bandeng).
D.
Manfaat
Penelitian
Manfaat yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Sebagai
sarana melatih diri bagi penulis dalam pembuatan karya
ilmiah.
2.
Sebagai
tambahan informasi bagi dunia sains mengenai pembuatan medium NA khusunya
mengenai medium alternatif.
3.
Sebagai
bahan informasi bagi penelitian-penelitian yang relevan.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Medium
Tumbuh Bakteri
Media yang digunakan untuk
menumbuhkan bakteri harus mengandung seluruh elemen yang penting untuk sintesis biologik organisme
baru, dimana harus memiliki
elemen-elemen sebagai berikut :
a.
Sumber
karbon
Beberapa
bakteri mampu menggunakan energi
fotosintetik untuk mereduksi karbondioksida pada penggunaan air. Organsme ini termasuk dalam kelompok autotrof,
makhluk hidup yang tidak membutuhkan nutrien organik dalam pertumbuhannya.
Autotrof lain adalah khemoautotrof, organisme yang menggunakan substrat anorganik sebagai reduktan dan karbondioksida sebagai
sumber karbon. Heterotrof membutuhkan karbon organik untuk pertumbuhannya, dan karbon
organik tersebut harus dalam bentuk yang siap diasimilasi contohnya glukosa dan
lemak (Brooks et al., 2005: 89).
b. Sumber
nitrogen
5
|
c.
Sumber belerang
Seperti nitrogen sulfur adalah komponen dari banyak
substansi organik sel. Sulfur membentuk bagian struktur beberapa koenzim dan
ditemukan dalam beberapa rantai samping cisteinil dan metionil protein (Brooks
et al., 2005: 89).
d.
Sumber fosfor
Fosfor (PO43-) dibutuhkan sebagai
komponen ATP, asam nukleat dan sejumlah koenzim seperti NAD, NADP dan flavin.
Selain itu banyak metabolit, lipid (fosfolipid) adalah bergugus fosfat (Brooks et al., 2005: 89).
e.
Sumber mineral
Sejumlah besar mineral dibutuhkan untuk fungsi enzim. Ion
magnesium (Mg2+) dan ion ferrum (Fe2+) juga ditemukan
pada turunan porfirin yaitu magnesium dalam molekul korofil dan besi sebagai
bagian dari kenzim sitokrom dan peroksidase (Brooks
et al., 2005 : 89).
f. Sumber
Vitamin
Semua makhluk hidup termasuk bakteri membutuhkan vitamin
(senyawa organik khusus yang penting untuk pertumbuhan). Kebanyakan vitamin
berfungsi membentuk substansi yang mengaktivasi enzim yaitu substansi yang
menyebabkan perubahan kimiawi (Pelczar dan Chan, 2008: 133).
Menurut
Winarno (2004 : 119) vitamin merupakan suatu molekul organik yang sangat
diperlukan untuk proses metabolisme dan pertumbuhan. Vitamin-vitamin tidak
dapat dibuat dalam jumlah yang cukup oleh karena itu diperoleh dari luar tubuh.
2.
Medium NA
Medium
NA merupakan salah satu media pertumbuhan yang paling sering digunakan untuk
menumbuhkan suatu bakteri dalam laboratorium. Menurut Pelczar (2008 : 138)
komposisi medium ini dapat tercantum pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Medium NA
Komposisi
|
Jumlah
|
Ekstrak daging sapi
Pepton
Agar
Air
|
3 gr
5 gr
15 gr
1.000 ml
|
Ekstrak
daging sapi merupakan suatu ekstrak daging cair dari jaringan daging sapi yang
empuk, dikonsentrasikan menjadi pasta yang mengandung substansi jaringan hewan
yang dapat larut dalam air, meliputi karbohidrat, senyawa nitrogen organik,
vitamin yang dapat larut dalam air dan garam-garaman. Pepton merupakan produk
yang dihasilkan melalui bahan-bahan yang mengandung protein seperti daging,
kasein dan gelatin yang merupakan sumber utama nitrogen organik bagi suatu
medium dan dapat pula mengandung karbohidrat dan vitamin. Agar merupakan suatu
karbohidrat kompleks yang diperoleh dari Algae marin tertentu dan digunakan
sebagai bahan pemadat medium (Pelczar dan Chan, 2008 : 137).
3. Komposisi kimia ikan Bandeng dan Daging Sapi
Di Indonesia, ikan bandeng dapat
dengan mudah ditemukan di daerah Sumatra Selatan, Borneo, Jawa, dan Sulawesi.
Ikan bandeng mempunyai komposisi zat gizi yang cukup tinggi. Kandungan
masing-masing zat gizi ikan bandeng disajikan pada Tabel 2, dan komposisi kimia
daging sapi pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi
kimia ikan bandeng (Chanos chanos)
Kandungan zat gizi per 100 gram BDD
|
Jumlah
|
Satuan
|
Energi
|
129
|
Kkal
|
Protein
|
20,0
|
gram
|
Lemak
|
4,8
|
gram
|
Karbohidrat
|
0,0
|
gram
|
Sumber : BRKP
2007 dalam Rustamaji (2009)
Daging sapi merupakan sumber protein yang
tinggi dengan asam amino esensialnya yang lengkap dan mempunyai kadar air
tinggi (68-75%), kaya akan zat nitrogen dan mineral, mempunyai pH 5,3-6,5 yang
menguntungkan bagi sejumlah mikroba (Soeparno, 2005 dalam Nuryanto, 2011: 2)
Tabel 3. Komposisi Kimia
Daging Sapi
No.
|
Komponen
|
Kadar/100 g
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
|
Air
Energi
Protein
Lemak
Kalsium
Fosfor
Besi
Retinol
Tiamin
Riboflavin
Niasin
|
68 g
210 kkal
18,8 g
14 g
11 mg
170 mg
2,8 mg
9,1 µg
0,08 mg
0,31 mg
4,5 mg
|
Sumber : Mahmud dkk. 2005 : 67.
4. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos-chanos)
Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan
budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Ikan bandeng mampu beradaptasi
terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan
terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi dalam Rustamaji (2009)).
Menurut Bagarinao dalam Rustamaji (2009) ikan bandeng memiliki hubungan yang erat
dengan ikan-ikan yang hidup di air tawar. Ikan bandeng diduga berasal dari
wilayah Eropa dan Amerika Utara dan melakukan migrasi ke wilayah laut tropis.
Saat ini ikan bandeng lebih banyak ditemukan pada daerah tropis.
Klasifikasi ikan bandeng menurut Nelson (2006:135) adalah
sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Phylum :
Chordata
Class : Actinopterygii
Order :
Gonorynchiformes
Family :
Chanidae
Genus : Chanos
Species
: Chanos-chanos
Gambar
1. Morfologi Ikan Bandeng (Chanos chanos)
Ikan bandeng mempunyai badan yang
memanjang seperti torpedo dengan sirip ekor bercabang sebagai tanda bahwa ikan
bandeng tergolong sebagai perenang cepat. Kepala ikan bandeng tidak bersisik,
mulut kecil terletak di ujung rahang tanpa gigi, lubang hidung terletak di
depan mata. Mata diliputi oleh selaput bening (subcutaneus). Warna badan putih
keperak-perakan dan punggung biru kehitaman (Ghufron dan Kardi dalam Rustamaji (2009)).
5. Penghitungan Jumlah Bakteri
Pertumbuhan bakteri adalah pertambahan jumlah sel, yang
juga berarti pertambahan jumlah organisme yang membentuk populasi atau suatu biakan
(Waluyo, 2011 : 93;
Purwoko, 2009:30). Berdasarkan hal tersebut
sehingga salah satu cara untuk mengukur pertumbuhan suatu jenis bakteri adalah
dengan menghitung jumlah bakteri tersebut baik jumlah selnya maupun jumlah
koloni bakteri yang tumbuh pada medium yang disediakan. Salah satu teknik yang
digunakan untuk menghitung jumlah bakteri adalah melalui teknik hitungan cawan.
Menurt
Fardiaz (1993: 37) metode hitungan
cawan memiliki keuntungan antara lain :
1)
Dapat
dilakukan dengan pengamatan langsung oleh mata tanpa menggunakan mikroskop.
2)
Beberapa
jenis mikroba dapat dihitung sekaligus.
3)
Dapat
digunakan untuk isolasi dan identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk
mungkin berasal dari satu sel mikroba dengan penampakan pertumbuhan yang
spesifik.
Metode hitungan cawan didasarkan pada anggapan bahwa
setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi suatu koloni. Jumlah koloni
yang muncul pada cawan merupakan suatu indeks jumlah bakteri yang hidup
terkandung dalam sampel. Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dalam CFUs (Coloni Forming Units). Cawan yang
dipilih untuk dihitung mengandung 30 - 300 koloni. Untuk memenuhi persyaratan
tersebut harus melakukan pengenceran. Prinsip dari teknik hitungan cawan adalah
bila sel bakteri yang masih hidup ditumbuhkan pada medium, maka bakteri
tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung
dan kemudian dapat dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Pada teknik hitungan
cawan ini jumlah koloni dalam sampel dapat dihitung sebagai berikut:
Koloni
per ml = jumlah koloni per cawan × 1
faktor pengenceran
Laporan
dari hasil menghitung dengan teknik hitungan cawan menggunakan suatu standar
yang disebut SPC (Standard Plate Count)
sebagai berikut:
1.
Cawan
yang dipilih dan dihitung adalah yang mengandung jumlah koloni antara 30 – 300;
jika tidak ada yang memenuhi syarat dipilih yang jumlahnya mendekati 300.
2.
Beberapa
koloni yang bergabung menjadi satu merupakan satu kumpulan koloni yang besar
dimana jumlah koloninya meragukan dapat dihitung sebagai satu koloni.
3.
Satu
deretan rantai koloni yang terlihat sebagai suatu garis tebal dihitung sebagai
satu koloni.
4.
Tidak
ada koloni yang menutup lebih besar dari setengah luas cawan petri; koloni
demikian dinamakan spreader.
5.
Perbandingan
jumlah bakteri hasil pengenceran yang berturut-turut antara pengenceran yang
lebih besar dengan pengenceran sebelumnya; jika sama atau lebih kecil dari 2
hasilnya dirata-rata. Tetapi jika lebih besar dari 2 yang dipakai jumlah
bakteri dari hasil pengenceran sebelumnya.
Dalam
SPC ditentukan cara pelaporan dan perhitungan koloni sebagai berikut:
1.
Hasil
yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yakni angka pertama (satuan) dan
angka kedua (desimal) jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar daripada
5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada angka kedua.
2.
Jika
pada semua pengenceran dihasilkan kurang dari 30 koloni per cawan petri,
berarti pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Karena itu, jumlah koloni
pada pengenceran terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang
dari 30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya
harus dicantumkan di dalam tanda kurung.
3.
Jika
pada semua pengenceran dihasilkan lebih dari 300 koloni pada cawan petri,
berarti pengenceran yang dilakukan terlalu rendah. Karena itu jumlah koloni
pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih
dari 300 dikalikan dengan faktor pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya
harus dicantumkan di dalam tanda kurung.
4.
Jika
jumlah cawan dari dua tingkat pengenceran dihasilkan koloni dengan jumlah
antara 30 dan 300, dan perbandingan dan perbandingan antara hasil tertinggi dan
terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan dua,
dilaporkan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan faktor
pengencerannya. Jika perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah lebih
besar daripada dua, yang dilaporkan hanya hasil yang terkecil.
5.
Jika
digunakan dua cawan petri per pengenceran, data yang diambil harus dari kedua
cawan tersebut, tidak boleh dari satu. Oleh karena itu, harus dipilih tingkat
pengenceran yang menghasilkan kedua cawan duplo dengan koloni antara 30 dan 300
(Waluyo, 2010 : 211-212).
B. Kerangka Pemikiran
Medium
pertumbuhan bakteri adalah medium yang dipakai untuk menumbuhkan dan
mengisolasi bakteri tertentu. Medium pertumbuhan yang sering dipakai dalam kegiatan tersebut adalah medium NA. Menurut Pelczar dan Chan
(2008 : 138) medium NA memiliki
komposisi antara lain; air, agar, pepton dan ekstrak daging sapi, tetapi di Indonesia khususnya
di Sulawesi Tenggara harga daging sapi cenderung lebih mahal dibandingkan
dengan harga daging ikan seperti ikan Bandeng (Chanos chanos) yang merupakan salah satu komoditi yang melimpah. Berdasarkan
data (BRKP: 2007 dalam Rustamaji
2009) daging ikan Bandeng
(Chanos chanos) memiliki kandungan protein yang tinggi
dengan kandungan lemak yang rendah yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti meneliti jumlah koloni bakteri yang
tumbuh pada medium NA yang menggunakan daging ikan Bandeng
(Chanos chanos) dan membandingkannya dengan yang menggunakan ekstrak
daging sapi.
C. Hipotesis
Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Daging
ikan Bandeng
(Chanos
chanos) dapat digunakan
dalam pembuatan medium NA.
2.
Medium
NA yang menggunakan ekstrak daging ikan Bandeng (Chanos
chanos) lebih baik dalam
menumbuhkan bakteri dari tiga sumber (yakult, air yang tergenang dan insang
ikan yang sudah busuk) dibandingkan dengan medium yang menggunakan ekstrak
daging sapi.
Secara statistik hipotesis nomor 2 dapat
dirumuskan sebagai berikut:
H0 : µ1
= 0 Tidak ada perbedaan yang nyata antara jumlah koloni bakteri pada
medium NA yang menggunakan ekstrak daging sapi dan ekstrak daging ikan Bandeng
(Chanos
chanos)
H1 : µ1
≠ 0 Ada perbedaan yang nyata
antara jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada medium NA yang menggunakan
ekstrak daging sapi dan ekstrak daging ikan Bandeng (Chanos
chanos)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2008. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi
Dasar. Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Biologi Universitas Jenderal
Sudirman. Purwokerto.
Berita
Daerah, 2011. Produksi Perikanan Air
Payau Sulawesi Tenggara. Http//
Berita Daerah.Com. Diakses 29 Februari 2012.
Brooks,
G.F., Butel, J.S., Morse, S. A. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran (Medical Microbiology).
Salemba Medica. Jakarta.
Eko
Susanto.2010. Pengolahan Bandeng (Chanos
chanos) Duri Lunak. Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro.Semarang.
Fardiaz,
S., 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan.
Kerjasama antara PAU-Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor dengan PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Irianto,
H.E. dan Soesilo, I., 2007. Dukungan Teknologi
Penyediaan Produk Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen
Kelautan dan Perikanan
.
Mahmud,
M.K., Hermana, Zulfianto, N.A., Rozanna, R., Ngadiarti, I., Hartati, B.,
Bernadus, Tinexcelly, 2005. Daftar
Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Jakarta.
Nelson,
J.S., 2006. Fishes of the World Fourth
Edition. John Willey and & Sons Inc. Alberta Canada.
Nuryanto,
A., 2011. Perubahan Warna dari Koloni
Eschericia coli Pada Media Ekstrak Daging Sapi, Sari Kacang Hijau yang Ditambah
Laktosa dan Phenol Red. Universitas Airlangga. Surabaya.
Pelczar,
M.J., Chan, E.C.S. 2008. Dasar-dasar
Mikrobiologi Jilid I. UI Press. Jakarta.
Purwoko,
T., 2009. Fisiologi Mikroba. Bumi
Aksara. Jakarta,
Rustamaji,
2009. Aktivitas Enzim Katepsin dan
Kolagenase dari Daging Ikan Bandeng (Chanos chanos) Selama Periode Kemunduran
Mutu Ikan. Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty Yogyakarta
Bekerja Sama Dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi
Daging . Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Waluyo,
L. 2010. Teknik dan Metode Dasar dalam
Mikrobiologi. UMM Press. Malang.
Waluyo,
L. 2011. Mikrobiologi Umum. UMM
Press. Malang.
Winarno,
F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar