BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka
menjaga kondisi tubuh tetap sehat.Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan
salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan
perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan
zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan
partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan.
Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan
intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh.Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang
normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan
yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang
lainnya.
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu :
cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan
yang berda di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan akstraseluler adalah
cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan
intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan
intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan
intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler
adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
B. Tujuan Pratikum
1.
Mengenal beberapa bentuk sediaan
cairan dan ukuran abbocath dan infus
2.
menentukan larutan yang digunakan
dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya
3. menentukan komposisi sediaan cairan dalam infus
3. menentukan komposisi sediaan cairan dalam infus
BAB
II
METODOLOGI
PRATIKUM
A.
Waktu dan Tempat
Pratikum ini dilaksanakan pada hari
Rabu, 12 Oktober 2011, pada pukul 09.00 WITA dan bertempat di Laboratorium
Fakultas Kedokteran Unhalu, Universitas Haluoleo Kendari
B. Peralatan
yang digunakan
1. Berbagai
bentuk sediaan cairan dan elektrolit
2. Berbagai
bentuk /ukuran IV- cath
3. Infus
set ( makro dan mikro)
4. Transfus
set
5. Spoit
C. Prosedur
Kerja
1. Mencatat
bentuk-bentuk sediaan cairan dan elektrolit
2. Mencatatberbagai
bentuk dan ukuran IV- cath
3. Mengamati
pembuluh darah vena pada beberapa anggota kelompok
4. Mengamati
dan mencatat beberapa perbedaan antara infut set ( makro dan mikro) dengan
transfuse set
5. Menghitung
jumlah tetesan permenit dari satu sediaan cairan
BAB III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Pengamatan
Adapun
hasil pengamatan kami adalah sebagai berikut:
No
|
Nama Cairan
|
Osmolaritas (mOsm/L)
|
Tipe Cairan
|
1
|
Ringer laktat
|
274
|
Isotonik
|
2
|
Otsu-DS
|
277
|
Isotonik
|
3
|
Martos-10%
|
278
|
Isotonik
|
4
|
KA-EN MG3
|
695
|
Hipertonik
|
5
|
PAN-AMING
|
507.45
|
Hipertonik
|
6
|
Aquades
|
Hipotonik
|
B.
Pembahasan
B.1. Konsep Dasar
Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion)
adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam
pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau
zat-zat makanan dari tubuh. Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan
pemberian cairan infuse adalah:
1.
Perdarahan dalam jumlah
banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen
darah)
2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh
dan komponen darah)
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul)
dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
4. Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh
pada dehidrasi)
5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung
(kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
B.2. Indikasi
pemberian obat
Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian
obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya
pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi,
meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi
serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat
infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien
dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika
intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya
perawatan, dan lamanya perawatan.
v Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara
lain:
1.
Obat tersebut memiliki
bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut)
yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat
suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya
“polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur
gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus
dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
2.
Pasien tidak dapat minum
obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di
saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian
melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan
(di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
3.
Kesadaran menurun dan
berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga
pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan
4. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai,
sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh
balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya
pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada
penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian
antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak
antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar
adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
v Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena (Peripheral Venous Cannulation)
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam
darah) dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum
prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur
infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan
pemberian obat)
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak
stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam
nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat
dipasang jalur infus.
v Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus
Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena
·
Inflamasi
(bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
· Daerah lengan
bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci
darah).
· Obat-obatan yang
berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat
(misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
v Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam
pemasangan infus:
·
Hematoma,
yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah
arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat
memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
· Infiltrasi,
yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), erjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
· Tromboflebitis,
atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang
tidak dipantau secara ketat dan benar.
· Emboli udara,
yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara
yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
v Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan
melalui infus:
ü Rasa perih/sakit
ü Reaksi alergi
B.3. Jenis Cairan Infus
Cairan/larutan yang digunakan dalam
terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya dibagi menjadi
1. Cairan hipotonik:
osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih
rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan
osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke
jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke
osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan
pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah
(dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula
darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan
kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
2. Cairan Isotonik:
osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada
pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan
darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya
adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%).
3. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik”
cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu
menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema
(bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya
Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl
0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
B.4. Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya
1.
Kristaloid
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah
volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya
Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
2. Koloid
Ukuran molekulnya
(biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler,
dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat
menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infus
cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan
ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik)
untuk menggantikan kehilangan cairan atau
zat-zat makanan dari tubuh
v Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan
melalui infus:
ü Rasa perih/sakit
ü Reaksi alergi
v Jenis Cairan Infus :
·
Cairan hipotonik
·
Cairan Isotonik
·
Cairan hipertonik
DAFTAR PUSTAKA
Arthur
C. Guyton, M.D, John E. Hall, Ph.D, 2007.Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11.
EGK Fakultas Kedokteran; Jakarta
James, Joyce, 2008. Prinsip-prinsip Sains Untuk Keperawatan.
Erlangga; Jakarta
Intravenous
Fluids. 2009. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
http://www.astaqauliyah.com/blogadversitingandmedicalinformationforbetterhealt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar