Kamis, 16 Agustus 2012

CAIRAN INFUS INTRAVENA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap sehat.Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air ( pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit masuk ke dalam tubuh melalui makanan, minuman, dan cairan intravena (IV) dan didistribusi ke seluruh bagian tubuh.Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya; jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu : cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Cairan intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel di seluruh tubuh, sedangkan cairan akstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna.
B.       Tujuan Pratikum
1.      Mengenal beberapa bentuk sediaan cairan dan ukuran abbocath dan infus
2.      menentukan larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya
3.    menentukan komposisi sediaan cairan dalam infus

                        


BAB II
METODOLOGI PRATIKUM
A.    Waktu dan Tempat
Pratikum ini dilaksanakan pada hari Rabu, 12 Oktober 2011, pada pukul 09.00 WITA dan bertempat di Laboratorium Fakultas Kedokteran Unhalu, Universitas Haluoleo Kendari
B.     Peralatan yang digunakan
1.      Berbagai bentuk sediaan cairan dan elektrolit
2.      Berbagai bentuk /ukuran IV- cath
3.      Infus set ( makro dan mikro)
4.      Transfus set
5.      Spoit
C.     Prosedur Kerja
1.      Mencatat bentuk-bentuk sediaan cairan dan elektrolit
2.      Mencatatberbagai bentuk dan ukuran IV- cath
3.      Mengamati pembuluh darah vena pada beberapa anggota kelompok
4.      Mengamati dan mencatat beberapa perbedaan antara infut set ( makro dan mikro) dengan transfuse set
5.      Menghitung jumlah tetesan permenit dari satu sediaan cairan


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.       Hasil Pengamatan

Adapun hasil pengamatan kami adalah sebagai berikut: 
No
Nama Cairan
Osmolaritas (mOsm/L)
Tipe Cairan
1
Ringer laktat
274
Isotonik
2
Otsu-DS
277
Isotonik
3
Martos-10%
278
Isotonik
4
KA-EN MG3
695
Hipertonik
5
PAN-AMING
507.45
Hipertonik
6
Aquades

Hipotonik

B.       Pembahasan
B.1.  Konsep Dasar
            Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infuse adalah:
1.      Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen  darah)
2.      Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
3.      Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
4.      Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)
5.      Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
6.      Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
7.      Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

B.2.  Indikasi pemberian obat
Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.
v  Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
1.        Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
2.        Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
3.        Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan
4.      Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
v  Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)
1.      Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2.      Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.
3.      Pemberian kantong darah dan produk darah.
4.      Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5.      Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
6.      Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
v  Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena
·         Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
·    Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
·    Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
v  Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:
·         Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
·     Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah),  erjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
·    Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
·    Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
v  Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:
ü  Rasa perih/sakit
ü  Reaksi alergi
B.3.  Jenis Cairan Infus
Cairan/larutan yang digunakan dalam terapi intravena berdasarkan osmolalitasnya dibagi menjadi
1.    Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
2.    Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
3.   Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
B.4.  Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya
1.      Kristaloid
Bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
2.      Koloid
Ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
  



BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
  Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh
v Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:
ü  Rasa perih/sakit
ü  Reaksi alergi
v  Jenis Cairan Infus :
·         Cairan hipotonik
·         Cairan Isotonik
·         Cairan hipertonik







DAFTAR PUSTAKA
Arthur C. Guyton, M.D, John E. Hall, Ph.D, 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. EGK Fakultas Kedokteran; Jakarta
James, Joyce, 2008. Prinsip-prinsip Sains Untuk Keperawatan. Erlangga; Jakarta
Intravenous Fluids. 2009. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
http://www.astaqauliyah.com/blogadversitingandmedicalinformationforbetterhealt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar