BAB I
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian
Masalah gizi buruk pada daerah pesisir selain
merupakan masalah kesehatan masyarakat juga terkait dengan masalah sosial dan
budaya. Begitupun masalah gizi buruk masih menjadi masalah sosial dan kesehatan
di seluruh dunia. Gizi buruk adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam asupan makanan sehari-hari.
Seorang penderita gizi buruk tidak mendapatkan minimum angka kecukupan gizi
(AKG). Anak balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya
kekurangan gizi. Kekurangan gizi dapat terjadi dari tingkat ringan sampai
tingkat berat. Apabila jumlah asupan gizi balita sesuai dengan kebutuhan
Menurut Yetty Nency dan Muhamad Thohar
Arifin (2005) tingginya kasus gizi buruk pada balita di
sejumlah daerah terkait dengan penyebab baik langsung maupun tidak langsung,
diantararanya yaitu :
1. Tidak tersedianya makanan secara adekuat.
Tidak tersedinya makanan yang adekuat terkait langsung dengan
kondisi sosial ekonomi. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya
makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya
hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan
penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Selain itu proporsi anak
malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan
penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
2. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang.
Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan
sesudah usia 6 bulan banyak anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status
gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein,
tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin
dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di
rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah
seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi
kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan.
3.
Pola makan yang salah
Hasil studi “positive
deviance” mengemukakan bahwa dari sekian banyak bayi dan anak-anak di suatu
desa miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka
semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui bahwa pola pengasuhan anak
berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan
kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan yang mengerti tentang pentingnya
ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin ternyata
anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas
pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata diasuh oleh
nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Selain itu
banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan
menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi buruk
4. Adanya kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan
Adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum
bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang
pada makanan tertentu ( misalnya tidak memberikan anak-anak daging, telur,
santan dll). Hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak,
protein maupun kalori yang cukup.
Dengan demikian, walaupun
masalah gizi buruk terjadi akibat beberapa faktor penyebab yang kompleks, namun
faktor budaya turut berperan dalam masalah ini. Suhardjo (1996 : 21)
mengemukakan bahwa walaupun kelaparan dapat ditentukan secara biologis, tetapi
pada umumnya kebiasaan pangan seseorang tidak didasarkan atas keperluan fisik akan
zat-zat gizi yang terkandung dalam pangan. Kebiasaan ini berasal dari pola
pangan yang diterima kelompok dan diajarkan kepada seluruh anggota keluarga.
Kebiasaan makan yang cenderung dipertahankan dalam suatu
masyarakat, seringkali mencegah orang untuk memanfaatkan sebaik-baiknya makanan
yang tersedia bagi mereka dan bahkan bertentangan dengan program perbaikan
gizi. Misalnya, pada masyarakat Minangkabau terdapat anggapan umum bahwa
sayur-sayuran dianggap sebagai “makanan rendah”, sehingga dalam menu makanan
jarang ditemui jenis sayuran. Selain itu ada kepercayaan bahwa anak-anak yang
menderita sakit tertentu dilarang memakan makanan tertentu, seperti anak yang
sakit bisul dilarang makan telur, bayi yang menderita diare tidak boleh minum
ASI dan banyak lagi yang lain. Selain itu faktor kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang makanan yang bergizi juga turut menentukan terjadinya gizi
buruk pada balita.
Kepercayaan dan pengetahuan adalah bagian penting dari
kebudayaan. Kebudayaan mengacu kepada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang
disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka,
menentukan tindakan dan memilih diantara alternatif yang ada. Kepercayaan
masyarakat ini akan melahirkan larangan atau tabu. Menurut Sarwono (1993 : 14)
masyarakat menerima pernyataan atau pendirian kepercayaan tentang sesuatu tanpa
menunjukan sikap pro atau anti. Kepercayaan itu diteladani tanpa banyak
dipertanyakan.
Kepercayaan dan kebiasaan masyarakat termasuk pengetahuan mereka
tentang gizi, harus dipertimbangkan sebagai bagian dari faktor penyebab yang
berpengaruh terhadap masalah gizi buruk pada balita. Sehubungan dengan hal
tersebut, diperlukan kajian lebih mendalam tentang masalah pengetahuan,
kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tentang makanan dalam kaitannya dengan
pantangan atau tabu makanan.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Talcott Parsons
Masalah gizi buruk pada
balita tidak hanya merupakan masalah individu dan keluarga (mikro) tetapi juga
terkait dengan kelangsungan suatu tatanan sosial masyarakat (makro). Landasan
teoritis terhadap masalah gizi buruk tersebut dapat dikaji dari Teori Parsons
(Struktural Fungsional) yang memberikan prioritas pada masyarakat. Masyarakat
mendahului individu dan individu dibentuk dan dicetak sebagai yang memiliki
kepribadian sosial menurut lingkungan sosialnya. Kepentingan pribadi individu
mencerminkan ”kesadaran kolektif” atau sistem nilai masyarakat itu pada
umumnya. Suatu prinsip dasarnya bahwa tindakan sosial itu diarahkan pada
tujuannya dan diatur secara normatif.
Dalam teori Parsons
penting untuk mengetahui bagaimana orientasi subyektif yang terdapat pada
individu-individu yang berbeda cocok satu sama lain atau menghasilkan
tindakan-tindakan yang saling tergantung yang membentuk suatu sistem sosial ?.
Dalam hal ini Parson membedakan tiga unsur pokok dari tindakan warga
masyarakat, yakni sistem kepribadian, sistem sosial, dan sistem budaya. Sistem
budaya merupakan orientasi nilai dasar dan pola normatif yang
dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan dalam struktur
kepribadian para anggotanya. Norma diwujudkan dalam peran-peran tertentu dalam
sistem sosial yang juga disatukan dalam struktur kepribadian anggota sistem
itu. Organisme perilaku merupakan energi dasar yang dinyatakan dalam
pelaksanaan peran dalam sistem sosial (Johnson, 1986).
Menurut Parson hubungan antara pelbagai sistem tindakan itu menurut kontrol
sibernatik (cybernetic control) yang didasarkan pada arus informasi dari
sistem budaya ke sistem sosial kemudian ke sistem kepribadian dan ke organisme
perilaku. Energi yang muncul dalam arus tindakan berasal dari arah yang
sebaliknya, yaitu berasal dari organisme perilaku. Menurutnya manusia melakukan
tindakan karena mereka selalu mempunyai orientasi. Orientasi disini berarti
tindakan tersebut selalu diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada dua
orientasi yang menjadi latar belakang tindakan manusia, yaitu orientasi
motivasional dan orientasi nilai (Johnson, 1986).
Orientasi motivasional adalah orientasi yang berkaitan dengan keinginan
individu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaannya. Sedangkan
orientasi nilai adalah orientasi yang berkaitan dengan standar-standar normatif
yang mempengaruhi dan atau mengendalikan individu dalam mencapai tujuan
tersebut. Dalam pandangan Talcott Parsons, kebebasan untuk melakukan sebuah
tindakan tetap ada pada setiap individu yang hidup bermasyarakat, tetapi
kebebasan tersebut dibatasi oleh standar-standar normatif yang berlaku dalam
masyarakat (Johnson, 1986).
Terkait dengan masalah gizi buruk, akar masalah dari gizi buruk terjadi
karena kemiskinan masyarakat. Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu atau
rumah tangga dalam mencapai standar hidup yang maksimal, sehingga tidak mampu
memberikan yang terbaik bagi anggota keluarganya, baik dari nilai gizi maupun
kelayakan makanan. Secara garis besar ada hubungan kemiskinan dan kesehatan,
yaitu masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan pada umumnya memiliki
kelayakan hidup yang lebih rendah, lebih rentan terhadap penyakit menular,
tingginya angka kematian pada bayi, ibu hamil dan melahirkan serta proporsi
kesehatan yang sangat rendah.
Selanjutnya pokok masalah dari timbulnya gizi buruk terkait dengan aspek sosial
ekonomi keluarga. Unsur pendidikan perempuan serta adanya mitos ataupun
kepercayaan pada masyarakat berpengaruh terhadap pola asuh anak dalam keluarga.
Antropolog Achmad Saifudin mengemukakan bahwa kasus gizi kurang dan gizi buruk
bukan masalah kesehatan semata, melainkan masalah kompleks termasuk masalah
budaya (Suara Pembaharuan, Sabtu 29 April 2006).
Adanya pola asuh yang tidak memadai akan menjadikan anak balita tidak
memperoleh makanan dengan gizi yang cukup. Anak yang kurang gizi akan menurun
daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Anak yang
menderita infeksi selanjutnya akan mengalami gangguan nafsu makan dan
penyerapan zat-zat gizi, sehingga menyebabkan kurang gizi. Jika kondisi
tersebut tidak ditangani dengan baik, maka dalam jangka panjang kondisi ini
berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dengan demikian, dalam pandangan Struktural fungsional, masalah gizi buruk
pada balita terjadi karena adanya budaya dalam masyarakat tentang jenis
makanan yang dimakan oleh orang atau kelompok ditentukan oleh proses
sosialisasi yang mereka terima sejak kecil terutama yang diperoleh di dalam
keluarga. Sosialisasi merupakan suatu proses yang paling penting dalam
kehidupan masyarakat bahkan proses yang paling dasar dari terbentuknya
masyarakat. Melalui proses inilah nilai, norma dan keterampilan lain diajarkan
pada anak-anak dalam keluarga sebagai suatu kebiasaan makan. Kepercayaan yang
hidup dalam masyarakat menurut pandangan struktural fungsional berfungsi untuk melestarikan
struktur masyarakat.
2.2. Kajian Clifford Geertz (Makna Simbolik pada Makanan)
Makanan merupakan sesuatu yang pokok dalam hidup. Makanan juga penting bagi
pergaulan sosial. Jika tidak ada cara-cara dimana makanan dimanipulasikan secara
simbolis untuk menyatakan persepsi terhadap hubungan antara individu-individu
dan kelompok-kelompok maka akan sulit menggambarkan kehidupan sosial (Foster
dan Anderson, 1986 : 317).
Menurut pendekatan interpretivisme simbolik (antropologi simbolik) simbol
adalah objek, kejadian, bunyi bicara, atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi
makna oleh manusia (Achmad Fedyani Saifuddin, 2006 : 289). Manusia dapat
memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan
dengan pikiran, gagasan, dan emosi. Leslie White (1940, dalam Achmad Fedyani
Saifuddin, 2006 : 290) mengemukakan bahwa manusia sebagai spesies yang mampu
menggunakan simbol, menunjuk pentingnya konteks dalam makna simbol. Makna
mengacu kepada pola-pola interpretasi dan perspektif yang dimiliki bersama yang
mengejawantah dalam simbol-simbol, yang dengan simbol-simbol itu manusia
mengembangkan dan mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap
terhadap kehidupan.
Geertz (dalam Achmad Fedyani Saifuddin, 2006 : 298) memandang
konteks kebudayaan bukan sebagai seperangkat proposisi umum, melainkan sebagai
jaringan makna yang dirajut manusia dan didalamnya mereka
mengoperasionalisasikan seolah mereka melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Menurutnya kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang dibangun secara
sosial.
Dalam kaitannya dengan makanan, setiap masyarakat memberikan
makna simbolik tertentu terhadap makanan. Menurut Sudarti (1989 : 68 –
69) di dalam hampir semua masyarakat makanan berfungsi sebagai alat mengadakan
interaksi sosial. Selanjutnya Foster dan Anderson (1986 : 317 – 322)
mengemukakan tentang peranan simbolik dari makanan, yaitu :
1.
Makanan sebagai
pernyataan adanya hubungan sosial
Pada semua masyarakat, kebiasaan memberi makanan dan minuman
adalah sebagai suatu pernyataan cinta kasih dan persahabatan. Menerima makanan
dari seseorang sama halnya dengan menerima perasaan yang dinyatakan seseorang
dan membalas perasaan orang tersebut. Disamping itu ada makanan tertentu yang
merupakan simbol kekerabatan dan keramah-tamahan, misalnya garam pada
masyarakat Roma.
2.
Makanan sebagai simbol
pernyataan solidaritas kelompok
Kita mengenal makanan sebagai alat untuk memelihara hubungan
keluarga. Misalnya pada masyarakat Indonesia sering dilakukan acara makan
bersama pada waktu arisan atau pertemuan keluarga. Hal ini menunjukkan
persatuan atau ada ikatan yang erat di dalam kelompok atau keluarga. Dalam
pengertian yang luas makanan sebagai simbol identitas suku bangsa atau bangsa
tetapi tentunya tidak semua makanan mempunyai simbol tersebut. Misalnya makanan
“gudeg” sebagai identitas masyarakat Jawa Tengah, makanan “rendang” sebagai
identitas suku bangsa Minangkabau.
3.
Makanan sebagai
pernyataan rasa stress
Pada beberapa masyarakat ada suatu tendensi untuk lebih banyak
makan dari ukuran normal pada waktu seseorang merasa susah atau pada saat
mengalami stress. Sehubungan dengan hal tersebut, Burgess dan Dean menyatakan
bahwa sikap terhadap makanan sebagai refleksi rasa marah juga perasaan
tertekan atau stress.
4.
Makanan sebagai simbol
bahasa
Makanan sebagai bahasa dapat dijumpai pada ungkapan-ungkapan
yang ada pada masyarakat Indonesia. Misalnya ungkapan “muka masam” menunjukan
orang yang sedang marah. Ungkapan “cabe rawit” menunjukan simbol orang yang
pandai.
2.3. Kajian Lawrence Green (Determinan Perilaku)
Green – Teori Lawrence Green – (dalam Soekidjo Notoatmodjo, 2007
:178 – 179) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni
faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non
behaviour causes). Perilaku ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor , yaitu
:
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang
terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilia-nilai dan
sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud
dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan, puskesmas, obat-obatan, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors) yang
terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan
oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau
masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku. Seseorang yang tidak memberikan makanan
tertentu pada balita dapat disebabkan karena adanya kepercayaan dan keyakinan
tentang bahan makanan yang mengandung gizi yang baik yang tidak boleh dimakan (predisposing
factors). Kemungkinan lain karena tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
atau sarana kesehatan karena rumahnya jauh dari fasilitas tersebut (enabling
factors). Sebab lain mungkin karena para pertugas atau tokoh masyarakat
lain disekitarnya tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap kesehatan balita
(renforcing factors).
Dalam kajian tentang masalah gizi buruk pada balita dalam
konteks budaya, maka determinan perilaku yang penting adalah
faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, serta nilai-nilai seseorang karena pengaruh
kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut sehingga dapat mempengaruhi
pola asuh ibu dalam memberikan asupan makanan pada anaknya.
Analisis Teoritis terhadap Masalah Gizi Buruk pada Balita
Pengertian kebudayaan yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa
kebudayaan berwujud gagasan dan tingkah laku manusia berakar dalam sistem
organisme manusia. Kebudayaan tidak lepas dari kepribadian individu melalui
suatu proses belajar yang panjang, dan menjadi milik dari masing-masing
individu warga masyarakat yang bersangkutan. Dalam proses itu kepribadian atau
watak tiap individu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan itu
dalam keseluruhannya. Akhirnya, gagasan, tingkah laku atau tindakan manusia itu
ditata, dikendali dan dimantapkan pola-polanya oleh berbagai sistem nilai dan
norma yang seolah-olah berada di atasnya.
Pandangan mengenai kebudayaan ini dapat mempergunakan kerangka
Talcott Parson yang dioperasionalkan dengan kajian dari Clifford Geertz bahwa
kebudayaan adalah jaringan makna dan kajian Lawrence Green yang mencoba
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kerangka teoritis
terhadap tiga kajian teoritis dapat disajikan pada bagan 2 di bawah ini.
Dalam kerangka Parsons, kebudayaan dalam keseluruhan
dibedakan pada empat komponen yaitu (1) sistem budaya, (2) sistem sosial, (3)
sistem kepribadian, dan (4) organisme perilaku. Keempat komponen tersebut
walaupun satu sama lain saling berkaitan, namun masing-masing memiliki sifatnya
sendiri-sendiri. Sistem budaya, merupakan
komponen yang abstrak dari kebudayaan, dalam bahasa Indonesia lazim disebut
adat istiadat, yang memiliki fungsi untuk menata dan memantapkan
tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Sistem sosial, terdiri dari aktivitas manusia berinteraksi antar
individu dalam rangka kehidupan masyarakat. Interaksi manusia itu di satu pihak
ditata dan diatur oleh sistem budaya, tetapi di pihak lain dibudayakan menjadi
pranata-pranata oleh nilai-nilai dan norma.Sistem kepribadian individu dalam masyarakat walaupun
berbeda-beda satu dengan yang lain, namun juga distimulasi dan dipengaruhi oleh
nilai-nilai dan norma-norma dalam sistem budaya dan oleh pola-pola bertindak
dalam sistem sosial yang telah diinternalisasinya melalui proses sosialisasi
dan proses pembudayaan selama hidup sejak masa kecilnya. Selanjutnya pada sistem
organik ikut menentukan kepribadian individu, pola-pola tindakan
manusia dan bahkan gagasan-gagasannya.
Dalam kerangka Parsons tersebut, Geertz menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah jaringan makna yang dirajut manusia dan didalamnya mereka
mengoperasionalisasikan seolah mereka melaksanakan kegiatan sehari-hari.
Menurut Geertz kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang dibangun
secara sosial. Makna mengacu kepada pola-pola interpretasi dan perspektif yang
dimiliki bersama yang mengejawantah dalam simbol-simbol, yang dengan
simbol-simbol itu manusia mengembangkan dan mengkomunikasikan pengetahuan
mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. Selanjutnya kajian Green menjelaskan
bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau
masyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian, perilaku (tindakan) seseorang dalam suatu
masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Sistem budaya yang merupakan orientasi nilai dasar dan pola
normatif yang dilembagakan dalam sistem sosial dan diinternalisasikan
dalam struktur kepribadian para anggotanya.
2. Makna yang dimiliki bersama yang mengejawantah dalam
simbol-simbol, yang dengan simbol-simbol itu manusia mengembangkan dan
mengomunikasikan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.
3. Pengetahuan, sikap, kepercayaan dan tradisi dari orang atau
masyarakat yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan
masalah gizi buruk pada balita, perilaku seseorang dalam hal ini ibu
dalam memberikan asupan makanan pada anaknya, ditentukan oleh sistem budaya
yang berlaku dalam masyarakat. Melalui proses sosialisasi, adanya kepercayaan
dan kebiasaan tentang makanan yang berlaku dalam suatu masyarakat akan
memberikan pengaruh tentang “makna” makanan pada kehidupan mereka. Kepercayaan
dan kebiasaan tersebut menjadi pengetahuan mereka yang diperoleh dan diajarkan
secara turun temurun melalui proses sosialisasi dalam keluarga dan selanjutnya
menjadi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari
BAB IV
PENUTUP
Beberapa hasil kajian menunjukan bahwa masalah
gizi buruk pada balita terkait dengan beberapa faktor penyebab yang kompleks,
namun faktor budaya turut berperan dalam masalah ini. Adanya kepercayaan dan
kebiasaan tentang makanan yang berlaku dalam suatu masyarakat memberikan
pengaruh tentang “makna” makanan pada kehidupan mereka. Kepercayaan dan
kebiasaan tersebut menjadi pengetahuan mereka yang diperoleh dan diajarkan
secara turun temurun melalui proses sosialisasi dalam keluarga dan selanjutnya
menjadi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya pola asuh yang
tidak memadai akan menjadikan anak balita tidak memperoleh makanan dengan gizi
yang cukup. Anak yang kurang gizi akan menurun daya tahan tubuhnya, sehingga
mudah terkena penyakit infeksi. Anak yang menderita infeksi selanjutnya akan
mengalami gangguan nafsu makan dan penyerapan zat-zat gizi, sehingga
menyebabkan anak balita mengalami gizi buruk. Jika kondisi tersebut tidak
ditangani dengan baik, maka dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Solusi terhadap
masalah gizi buruk pada balita selain diperlukan penanganan klinis, perlu
adanya penyadaran pada masyarakat tentang masalah yang mereka hadapi. Melalui
pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, diharapkan tumbuhnya kesadaran,
pengetahuan, kemauan dan akhirnya kemampuan masyarakat tentang perilaku sehat.
Pemberdayaan masyarakat pada akhirnya akan menghasilkan kemandirian masyarakat
yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, merencanakan dan melakukan
pemecahan masalahnya dengan memanfaatkan potensi setempat tanpa tergantung pada
bantuan dari pihak luar.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Djaeni Sediaotama. 2006. Ilmu Gizi.
Jakarta : PT. Dian Rakyat.
Achmad Fedyani Saifuddin. 2006. Antropologi
Kontemporer. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Albert, Gary, Ray Fitzpatrick, and Susan C. Schrimshaw. 2003. Social Studies
in Health and Medicine. London : Sage Publication Ltd.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 2003. Indikator
Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Cirebon tahun 2003. Cirebon.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. 2007. Kabupaten
Cirebon Dalam Angka. Cirebon.
Badan Pusat Statistik. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005 – 2006
(Kabupaten). Jakarta.
Departmen Kesehatan RI. 2000. Buku Panduan Pengelolaan Program Perbaikan
Gizi Kabupaten/Kota. Jakarta.
———-. 2007. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Jakarta.
Foster, George M, Barbara Gallatin Anderson. 2006. Antropologi
Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I.
Jakarta : PT. Gramedia.
Kaplan, David. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Keesing, Roger M. 1999. Antropologi Budaya. Jakarta :
Erlangga.
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Macionis, John J. 2003. Sociology – Ninth Edition. New
Jersey : Prentice Hall.
Mc. Elroy, Ann and Patricia K. Townsend. 1979. Medical
Antropology in Ecological Perspective. North Scituate,
Massachussets : Duxbury Press.
Soekidjo Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Jakarta : Rineka Cipta.
Solita Sarwono. 2007. Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Sjahmien Moehji. 2003. Ilmu Gizi. Jakarta : PT.
Bharatara Niaga Media.
Sri Meiyenti. 2006.
Gizi dalam Perspektif Sosial Budaya. Padang : Andalas University Press.
Suharjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta
: Bumi Aksara.
Yudistira K. Garna. 2006. Teori Sosial Pembangunan.
LAPORAN PENELITIAN
Ratih Dharmi Woelandaroe. 2002. A Comparison
of The Incidence of Malnutrition in West Java and Lampung Provinces in
Indonesia – A Review. Sydney : The University of New South Wales.
Sri Meiyenti. 2001. Aspek Sosial Budaya Tentang Gizi (Studi kasus
pengaturan makanan bayi dan balita pada empat rumah tangga di Desa Ganting
Kecamatan Seluruh Koto Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat).
Bandung : Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
JURNAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar